Kota Metropolitan (Mini) – Bukan Lagi Buitenzorg

Banyak orang masih membayangkan Bogor sebagai sebuah kota peristirahan. Sebuah kota yang dapat dikunjungi untuk menikmati ketenangan dan jauh dari keramaian. Banyak dari mereka yang “kecele” alias kecewa karena yang ditemukan ketika tiba di Bogor adalah sebuah kota metropolitan nan sibuk.

Mungkin lagu hymne Bogor masih membekas dalam dalam hati mereka . Satu kalimat dalam lagu ini menyebutkan Bogor adalah kota indah sejuk nyaman bagai bunga di dalam taman.

Sesuatu yang menggambarkan bagaimana nyamannya tinggal di Bogor. Keindahannya bahkan disamakan dengan keindahan bunga.

Mungkin pula romantika sejarah tentang “Buitenzorg” alias sebuah tempat tanpa kecemasan terlalu dalam menghinggapi hati.

Sayangnya gambaran tersebut tidaklah lagi sesuai dengan apa yang ada di kenyataan. Bogor bukanlah lagi sebuah kota peristirahatan. Kota ini sudah dan akan terus bertransformasi menuju bentuknya yang baru, yaitu sebagai sebuah kota metropolitan.

Apa itu kota metropolitan ?

 Merujuk pada Undang-Undang RI no 26 tahun 2007, kota metropolitan adalah

kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

Nah, dengan memakai definisi ini kita bisa membandingkan dengan kondisi kota Bogor saat ini.

1. Jumlah penduduk, kota Bogor berpenduduk melebihi satu juta orang (lihat data penduduk Bogor dari Kementrian Dalam Negeri)

2. Kawasan perkotaan inti , secara kasat mata pun terlihat bahwa inti dari Bogor (Kota dan Kabupaten) adalah kota Bogor.

3. Kawasan perkotaan disekitarnya alias kota satelit, banyak bagian dari Kabupaten Bogor yang bisa disebut menjadi satelit bagi kota Bogor seperti Cibinong,

Sentul dan sebentar lagi (kalau diluluskan) akan ada Kabupaten Bogor Barat (arah Dramaga dan Leuwiliang).

Meskipun tentu belum secara resmi atau secara ilmiah diteliti dan disahkan menjadi sebuah kota metropolitan, kenyataan di lapangan hal tersebut sudah terjadi.

Secara sosial budaya

kota metropolitan
Jalan Suryakencana

Sudut lain yang mencerminkan bahwa Bogor sudah menjadi sebuah kota metropolitan adalah dalam hal sosial budaya.

Meskipun belum 100% sama dengan “big brother” nya yaitu Jakarta, Bogor memiliki banyak sekali kemiripan dalam ini. Hal tersebut tercermin mulai dari gaya hidup masyarakatnya, bahasa, dan tentu saja kemacetannya.

Bagi sudut masyarakat awam, kota metropolitan bisa disebut ketika ada beberapa hal ini

1. Gedung tinggi

Memang belum ada gedung pencakar langit di kota hujan ini. Masih belum dan semoga saja tidak akan pernah ada.

Meskipun demikian luas Bogor yang hanya 118 kilometer persegi tidak memberi ruang cukup untuk mengimbangi pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Alhasil kepadatan penduduk di Kota Bogor berkisar antara 5,000 hingga 11,000 jiwa per kilometer persegi.

Hal tersebut memaksa banyak pihak untuk memanfaatkan lahan semaksimal mungkin ke atas alias vertikal. Bila di tahun 1990-an hanya terdapat 2-3 bangunan melebih 4 lantai, di saat ini bisa dikata jumlahnya sudah mencapat puluhan.

2. Harga lahan yang tinggi

Kota Metropolitan
Situasi lalu lintas di depan Gang Aut Bogor

Sudah tidak ada lagi tanah yang dihargai murah di kota Bogor. Harga tanah di kawasan bisnis atau di kawasan sekitarnya terus merangkak naik. Salah satunya bisa disebutkan adalah kawasan Jalan Soleh Iskandar.

Disini harga tanah berkisar antara 15-20 juta per meter persegi. Nilai tersebut jauh di atas NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) yang tertera pada tagihan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Sebuah rumah dengan luas tanah kisaran 105 meter persegi dan luas bangunan 60 meter persegi ditawarkan pada level harga antara 750 sampai 900 juta rupiah. Itupun lokasinya bukan berada di pinggi jalan Raya tetapi dalam perumahan.

3. Kehidupan malam

Jangan heran kalau anda berkunjung ke Bogor masih akan melihat orang berlalu lalang di malam hari. Kesibukan di Bogor hampir terus berlangsung selama 24 jam.

Anda masih akan bisa menemui berbagai aktifitas manusia di berbagai sudut kota ini di malam hari. Apalagi di hari-hari menjelang libur atau akhir pekan, keramaian akan terus berlangsung.

Tidak jarang warga Bogor baru tiba di stasiun atau terminal Bogor pada lebih dari pukul 20.00. Biasanya mereka adalah warga yang mencari penghasilan di ibukota.

Hadirnya beberapa tempat hiburan yang buka hingga malam juga ikut mengurangi jatah tidur warga Bogor.

3. Kemacetan

Kota Metropolitan
Pemandangan di depan Plaza Dewi Sartika pada hari Sabtu

Ciri khas lain dari sebuah kota metropolitan adalah kemacetan. Biasanya terjadi karena panjang ruas jalan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan jumlah kendaraan.

Apakah ada kemacetan di Bogor ? Bagaimana kalau disebutkan bahwa Bogor mendapatkan gelar Kota Termacet Indonesia 2014 versi Departemen Perhubungan. Rasanya sudah cukup menjawab.

Setiap ruas jalan di Bogor tidak pernah lepas dari yang namanya antrian panjang kendaraan.

4. Pemukiman kumuh

Pertumbuhan pesat perekonomian di sebuah kota metropolitan selalu menyisihkan sebagian dari warganya sendiri.

Banyak dari mereka yang tidak bisa mengikuti langkah dan akhirnya tersingkir dari percaturan memperebutkan gemerlapnya kota.

Bogor pun demikian. Di balik keriuhan dan cepatnya langkah kehidupan di kota hujan ini, ada cukup banyak dari mereka yang tercecer dalam kemiskinan.

Kota Metropolitan
Pemukiman kumuh di jalan MA Salmun

Alhasil di semua kota metropolitan , bukan hanya di Indonesia, ada yang namanya “slums” atau pemukiman kumuh. Ciri dari bagian kota yang tak mampu mengimbangi cepatnya langkah kehidupan kota nan egois.

Pemukiman kumuh di Bogor bisa ditemukan di kolong beberapa jembatan . Letaknya tidak jauh dari bagian kota yang riuh hanya tertutup oleh beton jembatan atau bangunan.

5. Gaya hidup

Kebutuhan masyarakat di kota metropolitan berbeda dengan kota-kota kecil.

Masyarakat di kota besar tidak lagi menginginkan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan primer dan dasar saja. Mereka butuh lebih dari itu.

Bila makan, yang dibutuhkan bukan hanya pengisi perut. Lebih dari itu, masyarakat di kota-kota jenis ini menginginkan kenyamanan, sesuatu yang dapat meningkatkan pandangan masyarakat terhadap dirinya, dan sesuatu yang membuat diri mereka “berbeda”.

kota metropolitan

Semua hal tersebut bisa dilihat di Bogor juga. Berbagai tempat makan mengubah standar pelayanan mereka.

Banyak restoran bahkan warung tidak hanya menyebutkan menu makanan yang ada tetapi juga akan disebutkan adanya fasilitas wi-fi. Kursinya bukan lagi kursi plastik tetapi kursi empuk dengan sandaran.

Semuanya seperti ingin memastikan agar pengunjung bisa berlama-lama di tempat mereka. Meskipun yang mereka lakukan hanya sekedar ngobrol dan nongkrong.

Kafe-kafe bertebaran di semua sudut kota talas ini.

——–

Akan terlalu panjang kalau disebutkan satu persatu kesamaan yang ada antara Bogor dengan “big brother”-nya.

Hanya dari berbagai sisi, sebuah kenyataan bahwa Bogor bukan lagi sebuah kota peristirahatan nan tenang dan damai. Bogor bukan lagi sebuah tempat tanpa kecemasan , alias bukan lagi Buitenzorg.

Bogor telah dan terus bertransformasi menuju sebuah hal yang tak bisa dihindarkan. Hal tersebut adalah menjadi sebuah kota metropolitan 100%.

Memang belum 100% karena masih ada beberapa hal yang belum berubah, tetapi arahnya bisa dikata hampir pasti dan hanya tinggal menunggu waktu saja.

Yang membedakannya dari Jakarta ada satu yang tak terbantahkan. Perbedaannya ada dalam hal ukuran saja. DKI Jakarta dengan uas 661 Kilometer persegi akan selalu lebih besar dari Bogor yang hanya 118 Kilometer persegi.

Mengingat ukurannya yang hanya 1/6 Jakarta, Bogor bisa disebut sebagai kota metropolitan (mini).

Mari Berbagi

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.