Tulisan Presiden Teater yang hampir pupus masih terpampang pada sebuah bangunan yang tidak terawat di Pertigaan Pasar Mawar Bogor (pertemuan Jalan Merdeka dengan Jalan Mawar). Itulah yang dikenal sebagai Bioskop Presiden, atau ‘bekas’ Bioskop Presiden karena saat ini sudah tidak berfungsi lagi sebagai sebuah tempat pemutaran film.
Hingga saat ini, meskipun sudah tidak berfungsi, warga Bogor masih tetap menyebutnya dengan Presiden Teater.
Kalau Anda melewati pertigaan ini, bisa dipastikan tidak akan terlintas sedikitpun bahwa di masa lalu, masa pendudukan Jepang, seorang Bung Karno pernah berpidato di tempat ini.
Ya. Siapapun tidak akan menyangka hal tersebut pernah terjadi karena kondisinya saat ini tidak mencerminkan bahwa tempat ini pernah menjadi sebuah tempat spesial bagi warga Bogor.
Bangunannya yang jelas sangat tidak terurus. Pedagang kaki lima yang memenuhi pelatarannya dan meluber hingga ke badan jalan, sama sekali tidak memperlihatkan bahwa bangunan ini menyimpan sejarah seperti itu.
Sayang sekali memang.
Padahal Bioskop Presiden pernah menjadi sebuah tempat bagi warga Bogor untuk mencari hiburan. Bahkan, warga Belanda di masa lalu pun juga berkunjung ke sini untuk menonton film.
Pada masa penjajahan Belanda, bioskop ini dikenal sebagai Bioskop Maxim, salah satu pusat hiburan di masa tersebut. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, namanya berubah menjadi Presiden Teater atau Bioskop Presiden.
Tidak jelas kapan perubahan itu terjadi. Meskipun demikian, bisa diduga pemberian nama Presiden Teater dilakukan setelah Bung Karno, atau Ir Soekarno menjadi Presiden Pertama RI karena ia pernah berorasi disini.
Bioskop ini, sama halnya dengan berbagai bioskop lainnya, seperti Wijaya Teater, Ramayana Teater pernah menguasai bisnis hiburan di Kota Hujan. Berbagai jenis film luar dan dalam negeri pernah diputar disini.
Ketika masa Orde Baru, bioskop-bioskop ini juga pernah dipakai untuk propaganda berupa pemutaran film G30S/PKI.
Masa jayanya meredup setelah bioskop yang lebih modern, seperti 21 atau Galaxy mulai masuk. Ditambah dengan monopoli film impor yang masuk ke Indonesia membuat satu persatu bioskop di Bogor mulai gulung tikar. Penonton lebh memilih memasuki ruang bioskop modern.
Selain itu tentu saja perkembangan tehnologi ikut berkontribusi terhadap runtuhnya masa jaya Bioskop presiden. Hadirnya Video Player yang bisa menghadirkan film ke rumah rumah ikut mempercepat ambruknya bioskop-bioskop seperti ini di Bogor.
Bila dihitung, berarti sudah hampir 15-20 tahun sejak pemutaran film terakhir di Bioskop Presiden.
Sejak saat itu, bangunannya bisa dikata tidak terawat dan di banyak bagian terdapat kerusakan. Selain itu, kehadiran pedagang kaki lima (limpahan dari Pasar Anyar) di lokasi seluas 3100 meter persegi ini membuat suasana menjadi becek dan kumuh.
Bagian dalamnya juga serupa, alias tidak terawat. Sayangnya LB tidak diperkenankan untuk mengambil foto dari bagian dalam (pesan dari pemilik lahan).
Pemandangannya terlihat sangat mengenaskan, terutama sebagai sebuah tempat yang pernah menyimpan sekelumit sejarah negara ini.
Hingga saat ini tidak terdengar ada rencana pembenahan atau pemugaran bangunan dari pemilik lahan. Sejauh ini, bangunannya dipakai sebagai tempat penyimpanan berbagai peralatan para pedagang saja.
Sayang seribu sayang.