Disiplin berlalu lintas – Sebuah gelar baru telah disematkan oleh Kementrian Perhubungan Indonesia di tahun 2014 yang lalu. Alih-alih bangga dengan “prestasi” yang dicapai oleh kota asuhannya, sang walikota justru berang dan tidak bisa menerima gelar tersebut diberikan.
Lho aneh ? Biasanya sebuah capaian akan dipamerkan. Tidak jarang akan terus diceritakan kepada berbagai lapisan tentang jerih payah yang dilakukan untuk meraih gelar tersebut.
Biasanya memang begitu. Hanya, kali ini “pencapaian” tersebut bukanlah dalam artian yang baik. Oleh karena itu wajarlah sang walikota merasa marah dan kecewa. Masalahnya, gelar yang diberikan adalah gelar Kota Termacet di Indonesia. Sudah pasti bukan sebuah gelar yang ingin diraih. Justru kalau bisa kota ini harus berada di peringkat paling dasar dalam daftarnya.
Tentu saja membuat sang walikota naik darah.
Kementrian Perhubungan memiliki kajian bahwa kecepatan rata-rata kendaraan di kota hujan ini hanya 15.3 km/jam saja. Catatan yang bahkan lebih buruk dari sang ibukota Jakarta dimana kendaraan masih bisa melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Bandung sebagai ibukota Jawa Barat, propinsi yang sama dengan Bogor juga jauh lebih baik dan hanya menempati peringkat ke-3.
Disiplin berlalu lintas di Bogor
Bapak walikota Bogor boleh berang. Itu haknya. Meskipun demikian, kenyataan di lapangan justru mendukung kajian dari Kementrian Perhubungan.
Sejak saya terjun menjadi blogger dan mengambil tema tentang kota ini, sudah tak terhitung saya harus menyusuri jalanan Bogor untuk mendapatkan bahan tulisan. Berbagai jalan di Bogor sudah dilalui dan hasil pengamatan memang menunjukkan banyak sekali titik macet dan penyebabnya.
Titik macetnya hampir merata di setiap area dan permasalahannya juga mirip. Penyebabnya juga demikian. Rata-rata sama.
Satu hal yang paling menonjol selama melakukan pengamatan di jalan-jalan kota hujan ini adalah tentang disiplin berlalu lintas warga Bogor. Tingkat kedisiplinan warga kota hujan ini bisa dikatakan sangat rendah.
Berbagai jenis pelanggaran dilakukan oleh pengendara dan sering dilakukan secara masal. Pengendara dalam jumlah besar secara berjamaah melakukan kesalahan yang sama.
Sebagai contoh berkendara melawan arus, tidak mengenakan helm, berusia di bawah umur, hingga menerobos lampu merah. Semuanya terjadi di semua wilayah kota Bogor.
Pelanggaran-pelanggaran ini sering menyebabkan kemacetan seperti yang sering terjadi di Pintu Perlintasan Kereta RE Martadinata dan Kebon Pedes serta berbagai jalan lainnya..
Pemandangan kendaraan mengular panjang terjadi setiap hari. Kalaupun mau diukur kecepatan rata-rata di berbagai titik macet bahkan tidak akan mencapai 15 kilometer perjam. Tidak jarang jarak yang hanya sekitar 2-3 kilometer harus ditempuh dalam waktu lebih dari 1 jam.
Yang sangat disayangkan dari semua ini adalah seringnya petugas kepolisian absen di tempat-tempat rawan macet. Kebanyakan pengendara di Bogor hanya akan mematuhi rambu lalu lintas bila ada petugas polisi berjaga di sekitar. Bila petugas absen, maka aksi pelanggaran lalu lintas akan diulangi. Hal ini sering terlihat di jalan Kebon Pedes menuju ke jalan Soleh Iskandar dimana pemotor melawan arus karena tidak mau berputar jauh.
Semua hal ini jelas sekali menunjukkan ada yang salah dalam benak banyak warga Bogor. Tingkat disiplin berlalu lintas mereka seperti berada di titik nadir alias sangat rendah. Bahkan untuk mematuhi hal sederhana seperti berhenti di belakang garis putih kala lampu merah menyalapun jarang dipatuhi, terutama oleh pengendara motor.
Beberapa foto di tulisan ini diambil dari beberapa jalan yang ada di Bogor dan kesemuanya menunjukkan seberapa buruk tingkat disiplin berlalu lintas warga Bogor.
Pak Walikota pantas berang dan malu. Tentu saja dia memang seharusnya marah. Meskipun demikian sasaran kemarahannya tidak tepat. Kemarahannya bukan dilimpahkan kepada Kementrian perhubungan tetapi kepada warganya.
Merekalah salah satu penyebab dari raihan buruk yang dicapai kota ini. Dengan disiplin berlalu lintas yang serendah itu tidak akan mengejutkan bahwa Bogor menjadi juara pertama macet di Indonesia. Bahkan banyak warga Bogor mengakui parahnya tingkat kemacetan di Bogor hingga saat tulisan ini dibuat.
Kemarahan pak walikota sebenarnya bisa membantu pemecahan masalah ini. Tentu dalam artian positif. Sang orang nomor satu bisa meminta pihak kepolisian untuk menurunkan lebih banyak petugas ke jalan.
Kehadiran mereka tentu membuat takut para pelanggar untuk mengulangnya. Apalagi sudah umum diketahui dan sudah ditulis di atas, warga Bogor hanya patuh pada aturan lalu lintas bila ada petugas. Adanya sosok petugas di lapangan akan mengurangi jumlah kasus pelanggaran.
Pemberian sanksi pada para pelanggar seperti yang dikenakan di Jakarta , juga akan bisa memberi efek jera pada masyarakat pengguna jalan.
Akhirnya bila diakukan secara konsisten dalam jangka waktu tertentu akan meningkatkan disiplin berlalu lintas warga Bogor.