
Halo, para Gen Z Bogor! Kalian yang suka ngopi di hidden gem sekitar Istana, pernah enggak kepikiran, kendaraan apa yang mengangkut para Nona dan Meneer Belanda di tahun 1930-an saat mereka liburan ke Kota Hujan ini?
Jawabannya bukan angkot atau Delman saja. Ada si pendatang baru yang bandel (nakal) dan revolusioner: Becak!
Yuk, kita ngobrol santai sambil flashback ke masa di mana becak ini pertama kali menggeser Delman dan Jinrikisha di jalanan Buitenzorg.
Momen Historis: Kapan Becak “Napak” (Menginjakkan Kaki) di Bogor?
Secara historis, becak yang kita kenal—sepeda beroda tiga dengan tempat duduk di depan—sebenarnya adalah adaptasi ulung dari model yang datang dari luar, khususnya dari Makassar atau Batavia (Jakarta).
- Era Awal (1930-an): Becak pertama kali ramai di Batavia sekitar tahun 1930-an, diimpor atau dirakit dari sisa-sisa sepeda Jepang. Sebagai kota satelit dan tujuan peristirahatan elit kolonial (Buitenzorg), sangat masuk akal jika moda transportasi yang efisien dan murah ini segera merembet ke Bogor.
- Masa Jaya (1940-an – 1980-an): Becak baru benar-benar meledak dan menjadi moda transportasi rakyat di Bogor justru saat Pendudukan Jepang (1942-1945) dan awal Kemerdekaan (1950-an).
- Kenapa? Karena saat itu, bahan bakar (bensin) untuk mobil dan motor susah pisan (sangat susah) dicari, dan kuda penarik Delman juga sulit diberi pakan.
- Solusinya? Becak! Hanya butuh tenaga manusia dan kaki kuat. Ini menunjukkan bagaimana Becak adalah simbol ketangguhan ekonomi rakyat jelata, yang bisa bertahan di tengah krisis.
Becak saat itu bukan hanya angkutan orang. Becak adalah ambulans, Becak adalah taksi darurat, dan Becak adalah gerobak untuk mengangkut hasil bumi dari desa ke pasar kota. Perannya sentral pisan!
Kenangan Nu Teu Kapohokeun (yang Tidak Terlupakan): Kontras Kolonial
Coba bayangkan pemandangan ini, Neng dan Jang, di depan Istana Buitenzorg:
- Di satu sisi, ada Delman yang dihias mewah, mengangkut Meneer Belanda menuju perkebunan di Puncak.
- Di sisi lain, ada Becak kayuh yang penuh keringat, mengangkut juragan pribumi atau ibu-ibu yang baru belanja dari Pasar Bogor.
Becak menjadi penanda adanya lapisan sosial baru. Becak adalah transportasi rakyat, sementara mobil dan Delman adalah simbol status kolonial. Sejak itu, Becak mulai dianggap mengganggu pemandangan rapi yang diinginkan Belanda, tapi di mata rakyat, Becak adalah sahabat paling setia.
3. Analisis Masa Depan: Akankah Becak Layu di Kota Hujan?
Faktanya, Becak sudah tersisih secara masif. Peraturan daerah (seperti Perda yang membatasi Becak di jalan protokol sejak tahun 2000-an) dan gempuran ojek online memang membuatnya terpojok.
Tiga peluang bagi Becak untuk “berevolusi” dan “bertahan” di Bogor:
🚀 Transformasi 1: Becak E-Wisata (Warisan Budaya)
Becak harus berubah fungsi. Jangan jadi pesaing angkot, tapi jadi atraksi.
- Fokus di Zona Nol Kilometer (Sekitar Stasiun, Djuanda, Surya Kencana).
- Berikan narasi sejarah yang kuat. Penarik becak (yang sekarang lebih tepat disebut “Pemandu Kayuh”) harus bisa menjelaskan: “Di sini dulunya societeit Belanda, Neng. Kalau belok ke sini, ini bekas kantor Residen.”
- Ini adalah diferensiasi yang moal aya (tidak ada) di ojol. Yang dijual adalah nostalgia dan edukasi.
🛠️ Transformasi 2: Becak Bantuan Listrik (Ramah Lingkungan)
Sistem Becak Kayuh murni akan punah secara alamiah karena faktor usia penariknya. Solusinya: Becak Listrik (E-Becak).
- Tetap beroda tiga dan lambat, tetapi tenaga kayuh dibantu motor listrik kecil.
- Ini akan membuatnya Ramah Lingkungan dan masih bisa beroperasi di area khusus tanpa mengganggu lalu lintas utama.
🏘️ Transformasi 3: Logistik Lingkungan (Spesialis Gang)
Becak akan bertahan di lingkungan perumahan padat dan pasar tradisional. Becak menjadi tulang punggung logistik untuk mengantar barang belanjaan atau anak sekolah di gang-gang yang liar (sulit dijangkau) oleh mobil.
Kesimpulan: Becak di Bogor memang moal aya lagi sebagai Raja Jalanan utama. Tapi, sebagai Warisan Budaya yang mencerminkan semangat rakyat jelata Buitenzorg, Becak harus dipertahankan. Kita harus memberi tempat terhormat baginya agar cerita kaki-kaki baja si penarik becak moal leungit (tidak akan hilang) ditelan zaman.
Hatur Nuhun Pisan! (Terima kasih banyak!) Semoga kalian makin cinta dengan sejarah Kota Hujan ini.