Masyarakat minim empati – Menyebalkan. Bikin sewot. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan.
Dua hari yang lalu, di atas Commuter Line Bogor -Jakarta Kota, seorang ibu membawa balita naik di stasiun Citayam. Dalam sutuasi kereta yang padat, maklum jam berangkat kantor, ia kemudian berdiri di depan sebuah deretan kursi. Itupun dengan bantuan para penumpang lain yang memberikan jalan.
Para penumpang tersebut melonggarkan jalan yang akan dilalui sang ibu karena mereka menyadari akan berbahaya buat si kecil kalau tetap di dekat pintu. Jam sibuk adalah jam dimana kepadatan CL akan sangat menyusahkan. Kemungkinan si bocah terjepit atau terdorong-dorong akan sangat besar bila tetap berada di dekat pintu.
Sampai sini, kisahnya masih sangat enak dinikmati, sesama penumpang saling memperhatikan dan menolong. Ada empati disana.
Sayangnya, kisah bagusnya terhenti disitu. Setelah sang ibu sampai di deretan kursi penumpang, tak seorang pun penumpang bersedia untuk berdiri dan memberikan tempat duduknya pada sang ibu. Setidaknya untuk sang bocah agar semakin terhindar dari kemungkinan terjepit penumpang lain.
Tak satu pun!
Padahal para penumpang di jajaran kursi tersebut hampir semua laki-laki. Mereka tidak tua, bahkan saya lebih tua. Tidak sakit. Yang pasti tidak cacat. Mereka memilih tidur atau pura-pura tidur dan bermain gadget.
Meskipun beberapa penumpang lain sudah menegur dan mengingatkan mereka untuk mau memberikan tempat duduk pada sang ibu, mereka hanya mengerling sejenak dan kembali asyik dengan smart phone atau memejamkan mata.
Tidak satu pun yang tergerak.
Memang jajaran kursi itu bukan kursi prioritas, tetapi tetap ada standar etika dalam masyarakat, bahkan masyarakat penumpang kereta sekalipun. Standar yang menentukan apakah seseorang dianggap beradab atau tidak.
(Baca : Etika Penumpang Commuter Line)
Dalam hal ini mereka gagal untuk menunjukkan hal itu.
Mereka gagal menunjukkan adanya empati pada sesama. Mereka tidak bisa bertindak sesuai dengan tuntutan etika dan norma yang ada dalam masyarakat.
Padahal kalau dipikir lagi, mereka tidak akan menjadi sakit hanya beediri selama satu jam. Pengalaman menjadi anak kereta selama lebih dari 20 tahun, berdiri selama 1-2 jam tidak berakibat buruk pada kesehatan. Paling hanya kaki pegal sedikit.
Itulah mengapa saya bilang menyebalkan. Bikin sewot.
Anggota-anggota masyarakat minim empati ini akhirnya bukan hanya mendapat cibiran dari sesama penumpang. Mereka juga akhirnya mendapatkan diri mereka dipermalukan karena penumpang lain tidak berhenti memberikan sindiran yang diucapkan dengan suara keras. Hukuman sosial yang layak mereka terima.
Hingga akhirnya, setelah dua stasiun, seorang di antara mereka yang duduk berdiri. Langsung turun. Entah apa memang sudah sampai tujuan atau karena malu. Sang ibu pun duduk beserta si bocah.
Penumpang yang lain pun kembali tenang.
Jadi, kawan, kalau Anda biasa memakai angkutan umum jenis apapun, tetaplah jaga hati Anda. Berikan sebuah ruang untuk rasa empati kepada orang lain. Ada kalanya kita akan dihadapkan pada situasi seperti di atas. Rasa empati Anda mungkin akan menghindarkan diri Anda dari rasa malu.
Janganlah jadi anggota masyarakat minim empati seperti para pria di atas. Masyarakat dimanapun tidak akan ragu untuk menjatuhkan hukumannya.
Saya setuju dgn kang Anton. Teknologi boleh maju tapi tradisi saling menolong, empati + gotong royong yg sdh diwariskan turun tmurun janganlah punah. Sayangnya tuk generasi yg skrg2 sdh mulai perlahan punah
Betul sekali Asti… sifat gotong royong dan suka tolong menolong itu jangan pernah dibiarkan punah. Itulah inti dari kita sebagai manusia
Pak Anton,, Memang betul anda berhak menilai.. Perlu saya tambahkan juga bahwa dalam hidup kita sebagai manusia memang saling menilai dan dinilai..
Betul sekali Dannie… Karena kita adalah manusia yang punya sisi penilaian.
Karena itulah saya berbagi penilaian saya berdasarkan pengalaman puluhan tahun di kereta. Apapun penilaian Anda tentang cerita ini atau penulisnya, hak itu sepenuhnya milik Anda.
Sebenarnya anda juga tidak bisa semata-mata menghakimi sikap orang lain tersebut..
Anda sendiri apakah juga sudah berempati ke orang lain dalam segala hal? Belum tentu..
Naik angkutan umum memang harus sudah siap dengan resiko tidak kebagian tempat duduk karena penuh..
Kang Dannie, saya berhak menilai kang. Setiap orang berhak menilai.
Anak-anak dan balita, dimanapun mendapat prioritas untuk mendapatkan tempat duduk. Di negara-negara yang lebih maju ada aturan tidak tertulis tentang itu. Namanya etika dan empati kang. Kalau manusia tidak punya etika dan empati, maka tidak ada keteraturan. Yang diminta bukanlah untuk orang sehat, wanita sehat, tetapi untuk anak-anak.
Mengapa di kereta selalu diumumkan dan disarankan untuk memberi tempat duduk pada ibu dengan balita, lansia, orang cacat, dan ibu hamil.
Tidak ada alasan bahwa itu resiko naik kendaraan umum. Dalam masyarakat pun ada yang namanya etika dan norma. Kecuali Anda mau disebut orang tidak beradab atau tidak beretika, dan beresiko dipandang negatif oleh orang lain, dipersilakan.
Pola pikir seperti akang justru yang harus dikurangi bahkan dihilangkan. Di masyarakat kendaraan umum juga ada yang namanya etika dan norma. Jangan cuma berpikir bahwa itu sebuah resiko
Kalau saya sendiri sudah sejak lama melakukannya. Bisa dikata saya jarang duduk, bahkan kalau sedang duduk di tempat duduk yang bukan prioritas pun kalau ada ibu hamil atau lansia atau orang cacat atau balita di depan mata, saya akan mempersilakan mereka duduk. Itu namanya etika kang.
Jadi, masyarakat berhak menilai.
Saya mengalami kejadian yg sama tapi bedanya di beijing, sayang lupa di foto, ceritanya ku share di www(dot)morning-dew(dot)weebly(dot)com/blog
Pasti.. di negara-negara lain pun akan ditemukan orang yang tak punya empati