Tentu Anda akan heran mengapa foto penjual sate babi ini dijadikan bahan sebuah tulisan. Apa menariknya?
Yah. Beberapa waktu terakhir kencang sekali di media massa tentang Bogor, Kota Hujan yang ditahbiskan sebagai kota paling tidak toleran di Indonesia.
Nah, foto ini, yang diambil dengan smartphone Xperia M, menunjukkan sebuah hal yang berbeda dengan apa yang dikatakan SETARA INSTITUTE tersebut.
Penjelasannya sederhana seperti ini
Sang Penjual Menghormati Keyakinan Orang Lain
Pada spanduk yang terpasang di gerobaknya, sang penjual sate babi sangat memahami bahwa penduduk di kota Bogor adalah muslim.
Mereka memberikan peringatan yang jelas bahwa makanan yang dijualnya tidak boleh dimakan oleh seorang yang beragama Islam. Jangan sampai ada yang terjerumus.
Warga Muslim Menghargai Hak Orang Lain
Meskipun mayoritas penduduk Bogor beragama Islam, mereka juga mengerti kebutuhan dan selera warga lainnya yang non muslim. Meskipun, yang diperdagangkan oleh sang penjual sate adalah sesuatu yang diharamkan dalam keyakinan mereka, sang penjual sate babi tetap bisa berdagang.
Ia tidak diganggu dan dipaksa menghentikan kegiatannya.
Saling mengerti, saling menghargai, saling memberi ruang adalah inti dari kata toleransi. Tidak saling memaksakan kehendak dan keyakinan terhadap orang lain.
Tidak perlu berpanjang kata karena toleransi lebih penting diwujudkan dalam tindakan dibandingkan kata-kata. Sayangnya foto ini luput dari penilaian peneliti Setara Instritute.
Hanya satu hal yang membuat saya sedikit “gatal” melihat foto ini. Sejak kapan “usus” menjadi “ucus”.
Ah, saya lupa. Dialek Sunda di beberapa tempat kadang memang menyebut usus dengan ucus, hati dengan ati.
dimana penjualnya pak,,,atau jangan sdh tutup…
Masih ada Kang… disana kawasan pecinan jadi pembelinya juga banyak