Mamang penjual tuak. Itu nama foto di atas. Hasil jepretan beberapa waktu yang lalu di trotoar jalan Pajajaran Bogor dekat pintu Kebun Raya.
Apa menariknya ? Yah, mungkin bagi anak muda sekarang tidak memberi kesan apa-apa. Meskipun demikian bagi warga Bogor yang sudah lama tinggal di kota hujan, penampakan sosok yang memanggul dua buah tabung bambu seperti dalam foto akan memberikan kenangan tersendiri.
Istilah tentang penjual tuak tersebut beragam. Kadang ada yang menyebutnya “lodong” (karena tabung bambu yang dibawanya), ada yang juga yang menyebutnya “tuak” dari isi cairan di dalamnya.
Sebenarnya kata “tuak” sendiri tidak tepat karena isi di dalam kedua tabung itu bukanlah minuman keras dan beralkohol.Isinya memang berupa hasil sadapan nira (getah) dari pohon kelapa, aren atau jenis palem lainnya. Minuman ini kemudian difermentasi.
Hasilnya sebuah minuman dengan rasa asam-asam manis. Kemudian dalam kedua tabung bambu itu dimasukkan potongan-potongan es batu. Hasilnya sebuah minuman yang segar diminum, apalagi dalam cuaca yang panas seperti sekarang.
Harganya sangat terjangkau. Bahkan di masa lalupun seorang anak dengan uang jajan terbatas mampu membeli segelas minuman ini. Itulah yang biasa saya lakukan dulu ketika masih bersekolah.
Penjual tuak seperti gambar di atas, sudah semakin jarang ditemukan beredar di kota hujan. Tentu saja, selera masyarakat Bogor sudah berubah. Es krim Mc Donald lebih dicari daripada minuman tradisional seperti ini.
Meskipun demikian, kehadiran sang mamang penjual tuak di foto ini menunjukkan masih ada sisi Bogor yang menginginkannya. Termasuk saya sebenarnya. Sayang sekali karena sedang berburu foto , akhirnya kesempatan itu terlewatkan.
Mungkin lain kali, mudah-mudahan, masih ada kesempatan untuk menikmatinya.
kalau belum di fermentasi..ditempat saya sering disebut dengan air kabung….alias air nira….
yah beda nama saja Kang.. sebenarnya sama