Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sebagai warga Bogor yang sudah berkunjung ke Kebun Raya Bogor berulang kali, suatu waktu saya melihat banyak iklan bertebaran di kebun botani kebanggaan Kota Hujan itu
Mengingat sejarah dan makna tempat yang dulu bernama Lands Platentuin tersebut dan dipandang “sakral” bagi banyak orang, sulit untuk memikirkan bahwa suatu waktu saya melihat komersialisasi merasuk ke dalamnya.
Namun, hal itu ternyata terjadi.
Dua iklan yang mendominasi dan mudah ditemukan adalah iklan dari Bank Mandiri dan Bank BRI. Kedua bank besar di Indonesia itu namanya terlihat tersebar di banyak tempat. Salah satu tempat dimana salah satu nama tersebut mudah ditemukan adalah di nama taman, seperti foto di atas.
Nama-nama tersebut dalam ukuran yang lebih kecil juga ditemukan di lumayan banyak sudut.
Komersialisasi situs cagar budaya ini memang tidak terelakkan dan pasti terjadi ketika LIPI menggandeng PT Mitra Natura Raya dalam pengelolaan 4 kebun raya di Indonesia (Bogor, Cibodas, Bali, dan Purwodadi) sejak 1 Januari 2020.
Sebuah PT (Perseroan Terbatas) pada dasarnya sebuah institusi yang berfokus pada bisnis dan keuntungan, materi. Jadi, dengan masuknya unsur bisnis dalam pengelolaan KRB, maka sudah bisa dipastikan bahwa dinamikanya akan berbeda.
Kebun Raya Bogor tidak lagi dikelola 100% demi kelestariannya, tetapi bisa dipastikan akan ada rencana untuk menarik keuntungan di dalamnya.
Jadi, keberadaan iklan di sana adalah wujud dari sisi komersial dari pengelolaannya sekarang.
Bisa dipastikan pula ada pro dan kontra dan memang hal itu sudah terjadi. Perubahan selalu akan menghadirkan mereka yang suka dan tidak suka.
Namun, Lovely Bogor lebih suka melihatnya dari sudut pandang lain.
Pengelolaan sebuah tempat bersejarah pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Banyak tempat dan situs bersejarah di Indonesia yang rusak dan kemudian hilang karena tidak tersedianya dana untuk merawat dan memastikannya tetap lestari.
Oleh karena itu, bisa dimaklumi, jika LIPI atau siapapun yang berwenang mengambil keputusan melakukan kerjasama dengan institusi bisnis. Dengan begitu, dana yang dibutuhkan untuk melestarikan situs tersebut bisa masuk dan dipergunakan untuk menjaga dan merawat.
Namun, tentu saja pasti ada konsekuensinya. Pasti ada perubahan dan nuansa “sakral” di Kebun Raya adalah salah satu yang mengalami perubahan. Jika sebelumnya hanya sebagai tempat pelestarian dan penelitian menjadi intinya dan wisata adalah pelengkapnya, sekarang nuansa taman hiburan dan wisata seperti berimbang atau bahkan lebih dominan.
Apakah hal itu baik atau buruk? Entahlah. KRB yang rusak dan tidak terawat karena kekurangan dana juga bukanlah sebuah hal yang baik. Namun, KRB yang terlalu penuh dengan iklan pun bukan sesuatu yang diharapkan. Segala sesuatu yang “terlalu” tidak pernah baik.
Namun, sejauh ini, rasanya keberadaan iklan masih dalam taraf bisa diterima dan tidak mengganggu. Apalagi, di banyak tempat terlihat adanya perbaikan dalam penataan dan fasilitas bagi para pengunjung.
Semoga saja, pada akhirnya kompromi antara pelestarian dan komersialisasi bisa ditemukan dan harmoni antara kedua unsur tersebut bisa terjadi. Karena, bagaimanapun, tidak ada yang ingin Kebun Raya Bogor rusak baik akibat tidak terawat atau komersialisasi.
Terlalu banyak sejarah perjalanan kehidupan Kota Hujan dan bangsa Indonesia yang tersimpan di dalamnya.