Ah, Sayang! Museum Zoologi Sekarang Berbayar

Bogor banyak berubah. Setelah 2 tahun lebih saya tidak berkeliling kota ini akibat pandemi, terasa sekali ada yang berbeda ketika beberapa waktu yang lalu saya kembali mencoba melakukan kegiatan yang dulu saya lakukan.

Salah satu yang terasa sekali berbeda adalah ketika berkunjung ke Kebun Raya Bogor sekitar 2 minggu yang lalu.

Kebun Raya sendiri tidak begitu banyak berubah meski kata-kata “GLOW” seperti ada dimana-mana, kemudian kehadiran penyewaan scooter dan sepeda yang lebih keren, tetapi ada satu yang menarik perhatian saat itu.

Di dekat loket terpampang tarif masuk Muzeum Zoologi Bogor.

Tarifnya berkisar antara 15.000-25.000 rupiah/ pengunjung. Besaran harga yang harus dibayar, seperti biasa, tergantung apakah seseorang berasal dari Indonesia atau luar negeri. Kalau dari luar negeri, sesuai aturan hukum Indonesia, memang tarifnya berbeda.

Yang membuat perhatian tertarik adalah karena pada kunjungan terakhir, masih di masa pandemi juga, tidak ada yang namanya tarif masuk ke museum yang dulunya bernama Landbouw Zoologisch Laboratorium (Laboratorium Pertanian dan Zoologi) ketika digagas pertama kali di tahun 1894 oleh J. C. Koningsberger ahli botani berkebangsaan Jerman. Pengunjung bisa memasukinya dengan gratis dan harga tiket KRB sudah termasuk untuk melakukan kunjungan ke museum ini.

Sekarang museum Zoologi berbayar, tidak lagi gratis.

Sekarang keduanya terpisah dan pengunjung harus merogoh kantungnya lagi untuk melihat apa yang ada di dalam museum yang sejak awal memang bagian dari Kebun Raya ini.

Tidak besar nilainya, tetapi tetap saja ada rasa sayang terkait hal ini. Meskipun sangat dipahami bahwa untuk memelihara apa yang ada di dalamnya biaya sangat diperlukan, tetapi dengan adanya tiket terpisah seperti ini, jumlah mereka yang melihat sejarah perjalanan Kebun Raya Bogor dan pengetahuan yang dibangun para pendirinya berkurang.

Bagaimanapun, tentu saja , pengunjung akan berhitung ulang walaupun nilainya sebenarnya tidak seberapa. Untuk apa harus merogoh uang lagi kalau sekedar untuk melihat specimen hewan yang diawetkan. Tentunya tidak semenarik menyewa sepeda dan bermain berkeliling.

Mudah-mudahan saja tidak terjadi, tetapi para pengunjung museum, bukan hanya di Bogor, yang sudah sedikit seperti diberikan penghalang lagi untuk masuk. Pastinya jumlahnya akan menurun lagi.

Efeknya, sangat mungkin generasi mendatang akan semakin sedikit yang memahami perjalanan sejarah dan makna keberadaan Museum Zoologi bagi Kebun Raya, Bogor, dan Indonesia.

Museum Zoologi Kebun Raya Bogor sekarang berbayar 2

Padahal, saat tidak berbayar saja, tidak begitu banyak pengunjung yang menyempatkan diri bermain ke sana.

Mungkin, sulit lagi ditemui siswa SD bergerombol di depan lemari kaca penyimpan spesimen, mengamati dan menyimak penjelasan di masa datang. Bagaimanapun, tarif KRB yang juga sudah naik dari sebelumnya, ditambah dengan tarif tambahan untuk museum akan lumayan memberatkan.

Mudah-mudahan saja prediksi dan asumsi saya salah dan LIPI sebagai pengelola Kebun Raya Bogor tetap bisa menarik pengunjung ke museum. Kalau tidak, yang ada adalah bumerang yang menjadi penghambat perkembangan generasi berikutnya.

Terlebih museum , bukan cuma di Bogor, kebanyakan kesulitan mendapatkan pengunjung. Berbeda dengan di banyak negara maju, seperti di Eropa dan Amerika Serikat dimana mereka punya fans loyal yang rajin meramaikannya. Di Indonesia, meski tarif murah sekali saja, banyak museum minim sekali didatangi karena kalah menarik dibandingkan dengan obyek wisata lain.

Tiket masuk yang harganya lumayan itu seperti menjadi penghambat minat masyarakat untuk lebih banyak bergaul dengan museum.

Itulah mengapa saya mengatakan “Ah, sayang”. Sayang sekali kalau sampai generasi berikutnya tidak paham bahwa Nusantara itu kaya dengan berbagai spesies hewan asli. Sayang sekali kalau mereka tidak menyadari perjuangan banyak ilmuwan dari negara lain dalam mengembangkan database hewan-hewan asli Indonesia. Sayang sekali kalau mereka tidak bisa melihat sisa dari Badak Priangan (Jawa Barat/Tanah Sunda) yang sudah punah.

Sayang sekali kalau minat masyarakat melihat sejarah Bogor berkurang hanya karena pengelola KRB lebih mementingkan unsur bisnis dibandingkan penyebaran ilmu pengetahuan. Ironisnya, ketika KRB, sebagai sebuah observatorium terbuka, berada di bawah LIPI yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan bukan bisnis.

Banyak sekali sayangnya.

Namun, apa mau dikata. Semua sedang dan sudah terjadi.

Mudah mudahan saja saya salah, meski kalau berdasarkan pengamatan saat terakhir bermain ke sana “benar” karena terlihat jarang sekali pengunjung yang masuk.

Mari Berbagi

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.