Hidangan kaki lima sudah sangat akrab sekali dengan lidah kita. Baik itu minuman, maupun makanan. Kedekatan kita dengan makanan dan minuman kaki lima barangkali karena terbangun dari cita rasanya yang hampir sama dengan olahan ibu di rumah. Baik bahan, bumbu, juga cara mengolahnya. Harganya yang relatif murah memungkinkan kita untuk lebih sering menikmatinya.
Selain mie ayam dan bakso yang sudah hampir menjadi makanan sehari-hari, laksa juga merupakan satu contoh kuliner kaki lima yang cukup populer. Dulu, di Bogor, penganan khas daerah yang satu ini dijumpai biasanya dijajakan dipikul keliling kampung. Cita rasanya khas sekali dengan aroma oncom merah, daun kemangi yang segar, serta kayu bakar.
Laksa. Jika ditilik dari namanya, kata laksa berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti ‘banyak’. Karena dimasak dengan bumbu yang banyak, maka kudapan kakilima satu ini dinamakan ‘laksa’.
Dulu, saya menyangka laksa itu berasal dari Bogor. π Karena, semasa kecil dulu, saya mudah dan sering menjumpai makanan yang satu ini. Ada beberapa pedagang laksa pikul yang lewat di depan rumah.
Laksa Bogor terdiri dari potongan ketupat, tahu kuning, bihun, toge, oncom merah yang diremas, dan daun kemangi, lalu diguyur oleh kuah santan berwarna kuning. Kuah santannya dipanaskan tidak menggunakan kompor tapi menggunakan kayu bakar. Sehingga aroma dan cita rasanya sangat khas sekali.
Tetapi, bukan isiannya yang menarik perhatian saya. Apalagi, semasa kecil dulu. Jujur saja, semasa kecil dulu, laksa bukan pilihan saya untuk menghabiskan uang jajan. :-)) Yang menarik perhatian saya akan laksa saat dulu itu adalah cara penyajiannya. Eh, tidak hanya dulu, sih, sampai sekarang juga. π
Karena cara menyajikannya itulah, dulu timbul sebuah teka-teki di kalangan masyarakat setempat. π
‘Hayo, Cing, sebutkeun tukang naon anu medit?’ (artinya : ayo, sebutkan, tukang apa yang pelit?).
Kita yang sudah tahu jawabannya sudah tentu akan menjawab : ‘Tukang laksa’!! :-))
‘Kunaon?’ (artinya : kenapa?)
‘Atuh, geus dibere cai, ditumpahkeun deui.’..(artinya : Abisnya, udah dikasih aer, ditumpahin lagi).
Ha..ha..ha..
Iya, itulah yang membuatnya menarik perhatian saya. Jadi, ketika bahan-bahan isian ditaruh ke mangkuk, Si Mamang (artinya : sang penjual) akan mengguyur bahan isian itu dengan kuah santan yang panas. Tetapi, kemudian airnya dituang lagi ke dalam panci. Diberi lagi, dituang lagi. Hal itu dilakukan beberapa kali baru kemudian ditaruh ke piring saji.
Dulu, sih, saya belum mengerti maksud dan tujuan Si Mamang menuangkan air beberapa kali seperti itu. Pikir saya dulu, apa memang harus seperti itu? Kenapa, sih, airnya dituang bolak balik ke dalam panci lagi? Ahhh..tapi, kan, bukankah Si Mamang laksa ini memang ‘pelit?..:-))..
Tetapi, ternyata, memang harus seperti itu. Karena, kalau tidak seperti itu, maka bihun, toge, oncom, dan juga daun kemanginya tidak matang. Hi3..Nanti, bahan isiannya masih mentah kecuali ketupatnya. π
Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya juga menemukan fakta baru lagi tentang laksa. Ternyata, laksa bukanlah makanan yang berasal dari Bogor!..Ha..ha..
Menurut Wiipedia, laksa merupakan makanan berjenis mie yang ditaruh dengan bumbu dengan kebudayaan Peranakan, yang digabung dengan elemen Tionghoa dan Melayu. Dan, ternyata jenisnya bermacam-macam. Laksa merupakan salah satu kudapan khas kakilima di hampir setiap daerah. Dan, bukan saja daerah-daerah di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Singapura. :-))
Pantas saja, saya sempat bingung kenapa setiap tukang laksa di Bogor menamakan dagangannya ‘Laksa Bogor’. Ternyata, itu untuk membedakan laksa dari daerah lainnya, seperti Laksa Betawi, Laksa Palembang, Laksa Banjar, Laksa Jepara, dan laksa-laksa lainnya. :))
Jujur saja, yang baru saya pernah nikmati dan kenal rasanya adalah Laksa Bogor. Saat ini, di Bogor agak susah menjumpai tukang laksa yang memikul dan menjajakan keliling kampung. Meski masih ada beberapa. Kita lebih mudah menjumpai pedagang laksa yang berdagang sebagai kakilima ataupun yang ada di pusat perbelajaan-pusat perbelanjaan modern.
Meski, menurut saya, sih, (sambil bisik-bisik) yang di pusat perbelanjaan modern-pusat perbelajaan modern itu citarasanya agak kurang pas. Rasanya tetap lezat, tapi seperti masih ada yang kurang. Mungkin karena kuahnya dimasak dan dihangatkan TIDAK menggunakan kayu bakar sehingga aromanya agak berbeda. Dan, air yang tidak dituang-tuang itu pun mungkin yang menjadi salah satu sebabnya. :-))
Tetapi, jangan takut jika ada yang belum pernah merasakan laksa yang memiliki rasa ‘tempo doeloe’; yang masih dimasak menggunakan kayu bakar, juga yang cara menyajikannya dengan cara menuangkan air berulang-ulang. Bagi yang mau merasakan laksa yang seperti itu masih dapat dijumpai di beberapa sudut kota Bogor. Salah satunya, di Jalan Malabar, di sisi jalan yang menuju RS. PMI Bogor.
Di bawah kerindangan pohon kenari, kita masih dapat menjumpai Si Mamang yang menjual laksa. Masih menggunakan kayu bakar dan juga masih menuangkan air bolak balik untuk mematangkan bihun dan sayuran mentahnya. Rasanya seperti laksa yang dulu. Aromanya juga. Harganya pun relatif murah. Hanya Rp 12.000,- per porsi kita dapat menikmati rasa laksa yang enak, gurih, dan nikmat.
(Baca juga : Laksa Gang Aut – Kelezatan Dalam Kesederhanaan )
Ini dia Si Mamang-nya. Saya memang minta kesediaan Bapak ini untuk diambil fotonya. Sayang sekali, saya lupa menanyakan namanya. Bagi yang mau mencoba rasa laksa Mamang ini, saya minta tolong, ya..Tolong tanyakan namanya..:-))..
Terima kasih, ya, sebelumnya!..
π