Kopi itu pahit, Kawan!
Bagi penyuka cappuccino, latte, mungkin kalimat ini akan ditentang karena cita rasa seduhan kopi bergaya Italia tersebut tidaklah pahit. Banyak yang menjurus ke manis karena campuran susu di dalamnya.
Tetapi, tetap saja kopinya sendiri akan tetap terasa pahit kalau tidak ditambahkan unsur pemanis, seperti gula dan susu.
Mungkin, kepahitan itu yang sedang dirasakan banyak pengusaha bisnis tempat ngopi di Bogor sejak beberapa bulan terakhir, terutama saat wabah Covid-19 merajalela.
Tidak ada data statistik tentang berapa banyak kedai, kafe, warung kopi yang bertumbangan selama beberapa bulan terakhir. Tidak yakin, pemkot Bogor memiliki datanya.
Tetapi, yang jelas, berdasarkan pengamatan selama berkeliling, cukup banyak tempat ngopi yang terpaksa tutup. Sebuah kafe kecil milik kawan sendiri pun sudah tumbang secara prematur karena terhantam badai Corona, padahal kafe itu baru dibuka 2 bulan saja.
Seorang kawan lama, tetangga, yang sebelumnya sudah mengeluhkan berkurangnya pendapatan, kehilangan kata-kata ketika ditanya perkembangan kedai kopi yang dikelolanya.
Bingung menjawab. Standar jawabannya hanya, “Alhamdulillah, masih ada yang datang”, walau raut mukanya terlihat pusing.
Bisnis Tempat Ngopi Di Bogor : Kompetitif, Amat Sangat!
Pernah tahu berapa banyak bisnis tempat ngopi di Kota Bogor?
Beberapa waktu sebelum si Corona datang, saya sempat berbincang dengan Untung Raharjo, pengelola Kedai Kopi Opatan, dan juga Pak Ismu dari Rumah Kopi Bogor, tentang jumlah kedai dan kafe kopi yang ada di Kota Hujan.
Jawabannya cukup mengejutkan juga.
Tiga ratus lebih! Iyah, 300 buah tempat ngopi yang lahir di era ngopi non sachetan menjadi tren di Indonesia. Angka itu terus tumbuh karena berbeda dari 10 tahun yang lalu, sekarang mudah sekali menemukan keberadaan kafe, kedai, warung kopi.
Bukan hanya di area yang dikenal sebagai area wisata saja. Di berbagai pelosok, sampai ke kampung tempat nongkrong sambil nyeruput kopi bisa ditemukan.
Tentunya dalam berbagai wajah. Ada yang mewah, ber-AC, dan ber-wifi, tetapi tidak sedikit yang hanya berupa konter/warung kecil hasil perubahan wujud warung kopi jaman dulu.
Jumlah yang sedikit?
Relatif.
Cuma, kalau dibandingkan dengan angka penduduk Kota Bogor yang hanya sekitar 1,1 juta orang, jumlah tersebut memiliki rasio 1 : 3500 orang.
Rasio yang kelihatannya besar dan mungkin mendasari banyak orang berpikir bahwa bisnis ngopi itu akan “manis”. Tambahkan dengan wisatawan yang datang setiap minggunya.
Hasilnya akan memperlihatkan bahwa potensi dalam bidang ini akan menguntungkan sekali.
Sayangnya, ada sedikit hal yang dilupakan saat membuat rencana bisnisnya.
Rasio 1 : 3500 itu hanya di kertas saja. Di lapangan, perhitungannya harus dikurangi dengan banyak hal lagi, seperti
- Anak-anak : jumlahnya bisa 1/3 dari penduduk Kota Bogor yang artinya menyusutkan rasio menjadi sekitar 1:2000 saja
- Remaja : banyak kedai menyasar remaja yang membutuhkan tempat bersosialisasi, tetapi sayangnya, kebanyakan remaja masih berada di bawah orangtuanya dan tidak bisa seenaknya nongkrong di kafe, kecuali acara tertentu saja
- Budaya ngopi : Anda pilih mana Kopi Liong Bulan atau kopi kafe? Banyak warga Bogor yang fanatik terhadap kopi buatan Bogor ini dan merasa lidahnya tidak cocok dengan kopi seduhan kafe modern. Tambahkan dengan berbagai merk kopi sachetan, seperti Torabika, Kapal Api, dan lain yang masih merajai
- Jakarta itu dekat : setiap hari puluhan hingga ratusan ribu orang Bogor berangkat kerja ke Jakarta. Berangkat pagi, pulang malam. Akankah mereka langsung pergi ke tempat ngopi sepulang kerja? Rumah tetap menjadi pilihan utama
- Wisatawan : setiap tahun lebih dari 1 juta wisatawan datang berkunjung ke Bogor, terlihat sebagai pasar yang empuk. Tidak heran susah mencari tempat di berbagai kafe setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Bagaimana di luar hari itu? Ya mereka juga harus beraktivitas dan bekerja, untuk apa harus ke Bogor?
- Daya beli : Mana yang Anda pilih, kopi sachetan seharga 1500 segelas dengan kopi a la kafe yang 20-25 ribu? Tergantung, tetapi banyak ibu rumah tangga akan berpikir ulang kalau mau nongkrong di kafe
- Pesaing : Nama-nama raksasa dunia ngopi, seperti Kopi Janji Jiwa dan Kopi Kenangan sudah ada di Go Food , mereka hampir pasti akan melahap banyak porsi pasar yang ada dengan ketenaran dan “harga” kopinya
Terlepas dari keyakinan banyak pengusaha kafe di Bogor, bisnis tempat ngopi di kota ini sudah sangat kompetitif.
Angka 300-an kedai dan warung kopi yang ada sudah berlebihan untuk sebuah kota sedang dengan pasar yang sempit meski terlihat besar.
Tidak ada data statistik.
Hanya saja, bertumbangannya bisnis tempat ngopi, bahkan sebelum si Covid datang, sudah menunjukkan kerasnya persaingan dalam usaha ini.
Mungkin, situasi ini berbeda 5-6 tahun yang lalu, di kala tren ngopi masih di tahap awal di Bogor.
Situasinya bertambah repot ketika si virus berbahaya saudaranya virus influenza datang ke Indonesia, sekitar bulan Februari yang lalu.
Warga Bogor menahan diri untuk keluar rumah karena dikekang peraturan PSBB. Ketika PSBB dilonggarkan tetap saja banyak penduduk Bogor yang pilih berdiam di rumah sambil ngopi sachetan daripada beresiko tertular sang virus.
Wisatawan? Jangan ditanya. Tutupnya banyak tempat wisata di Kota Hujan mengurangi alasan untuk bepergian ke Bogor. Mereka juga masih menahan diri karena rasa khawatir yang sama.
Pasar yang sudah sempit menjadi lebih sempit lagi. Ibaratnya kolor yang sudah kecil, dicuci mengerut, dan kemudian disetrika tambah ciut lagi.
Tidak cukup lagi (bagi semua pelaku bisnis tempat ngopi).
Kopi itu pahit, Kawan!
Sanggupkah Usaha Ngopi Bertahan Melewati Badai?
YA dan TIDAK.
YA, pasti ada yang sanggup bertahan dan ketika pandemi usai, mereka akan menikmati pasar yang lebih besar.
TIDAK, banyak yang tidak akan bisa bertahan diterpa badai besar akibat si Corona.
Sebelum wabah melanda saja, sudah satu persatu menutup gerai. Corona hanya menambahkan bensin pada api seleksi alami yang sudah besar.
Bukan mendoakan kegagalan usaha orang lain, hanya realitanya begitulah dunia (bisnis). Yang kuat bertahan, yang lemah akan tersingkir. Tidak ada yang namanya belas kasihan.
Yang bertahan itu biasanya mereka
1) Memiliki Modal Kuat
PSBB memang sudah dilonggarkan. New Normal sudah menjelang, tetapi orang masih khawatir akan keselamatan dirinya.
Jangankan ke kafe, belanja ke supermarket saja diperhitungkan supaya tidak terlalu sering.
Sampai kapan? Entah… Mungkin, saat vaksin sudah tersedia, situasi baru bisa beranjak normal.
Bagaiman sebuah bisnis tempat ngopi bertahan dengan pengunjung yang hanya sedikit, kecuali tersedia dana cadangan yang banyak? Pegawai dan ongkos operasional harus tetap dibayar kalau mau tetap buka.
2) Mau Mendekati Pembeli
Pemilik usaha tempat ngopi yang memakai pola tradisional a la warung kopi, menunggu pembeli datang akan habis terlibas.
Bahkan, tanpa pandemi pun, sudah banyak anggota masyarakat yang senang ngopi non sachetan, tetapi di rumah. Hadirnya si Corona, membuat mereka makin malas keluar.
Go dan Grab Food menjadi andalan.
Jika seorang pemilik kedai kopi hanya menanti, pasar mereka perlahan tapi pasti akan habis. Apalagi, raksasa kopi, Janji Jiwa dan Kopi Kenangan justru mengandalkan pada strategi mendekati pelanggan.
3) Mau Memberi Harga Diskon
Kopi secangkir 25 ribu? Ntar dulu. Harganya sama dengan harga 2 liter beras atau sekilo telur.
Secangkir kopi buat sendiri, sedangkan beras dan telur bisa untuk makan beberapa hari.
Lagi juga, banyak kok tempat ngopi yang memberi harga sangat murah untuk jenis yang sama. Rasanya juga beda-beda tipis. Kopi ya kopi.
4) Mengikuti selera pasar
Tahu yang paling banyak dipesan oleh pembeli saat ngopi? Espresso? Vietnam Drip?
Bukan.
Cappucino, moccacino, latte.
Seduhan kopi bercampur susu, atau susu yang ditambahkan kopi. Coba saja lihat kopi paling laku di Kopi Kenangan, jawabnya Kopi kenangan Mantan yang rasanya mirip kopi susu.
Berpikir bahwa semua orang datang untuk minum kopi adalah sebuah kesalahan. Mereka datang untuk menikmati gaya hidup dengan minuman yang mereka biasa temui, meski dengan nama yang lebih keren.
Selera mereka lebih penting daripada pengetahuan tentang kopi.
5) Yang Tidak Sombong
Para pengelola kedai kopi belakangan ini mirip dengan tukang kecap. Mereka percaya hasil seduhan mereka sebagai yang terbaik.
Sudah beberapa kali saya mendengarkan bahwa kopi itu harus diseduh begini dan begini dan betapa mereka mendapat pujian dari pelanggannya.
Mendengar teorinya pasti akan terkagum-kagum.
Wajar sih percaya diri.
Cuma setelah dicicipi, kopi yang disajikan tetap saja kopi. Namanya boleh berbeda, tetapi pada dasarnya kopi, bagi masyarakat awam, adalah tetap kopi. Di satu kafe dengan kafe yang lainnya, yang sama-sama mengaku terbaik, rasanya tidak jauh berbeda.
Kondisi percaya diri seperti ini sangat kontra produktif dalam situasi persaingan ketat dan berat karena menghambat timbulnya ide-ide baru.
6) Yang Mau Promosi
Tidak ada bisnis yang bisa berkembang tanpa melakukan promosi.
Apalagi di masa susah seperti sekarang.
Sehebat apapun seorang penyeduh kopi dan seenak apapun kopi yang dihasilkannya, tidak akan ada pembeli jika tidak ada yang tahu.
Promosi tetap dibutuhkan dan semakin berperan besar untuk membantu melewati badai saat ini. Promosi akan membantu mengingatkan pembeli untuk datang kembali atau membeli produk.
Tanpa itu dan hanya menunggu, akan membuat sebuah bisnis runtuh.
Jadi, yang melakukan promosi memiliki potensi bertahan lebih baik daripada yang tidak.
*****
Kopi itu pahit, Kawan!
Sejatinya begitu.
Tetapi, “kopi” bisa dibuat manis, asam, asin, tergantung cara mengolahnya. Bila ditambah gula dan susu, akan ada manis dan gurih, tidak lagi pahit seratus persen.
Begitupun, dunia bisnis tempat ngopi. Dulu pernah manis, sekarang pahit, besok bisa manis lagi, bisa tetap pahit.
Tidak ada kepastian.
Kecuali, mereka yang bergelut di dalamnya mau menambahkan sendiri dengan usaha lain, promosi, produk baru, diskon, dan hal lainnya.
Mungkin, pahitnya saat ini bisa diubah menjadi agak manis dan tidak terlalu pahit.
Yang jelas, setidaknya hal itu akan membantu untuk bertahan menghadapi terpaan badai yang akan selalu datang.
Sambil tentunya berdoa agar si Corona segera berlalu dan semua, baik pengusahanya dan pembelinya dalam keadaan sehat walafiat.
Bogor, 1 Agustus 2020, (tulisan dari seorang penggemar kopi sachetan yang sudah hampir 6 bulan tidak pergi ke tempat ngopi, selain di rumah)